Senin, 17 Agustus 2009

Ketika

Tahun demi tahun berlalu, betapa sering kulihat tatapan kedua matamu lewat pagi yang diterangi mentari, padang gembala, bunga-bunga, rumah laba-laba, dan sarang burung.
Suatu hari, tibalah waktunya bercinta bersama musim semi. Ia menggiring kami ke tiang gantung yang suci. Kita saling mengikat janji dan ruh menyatu dalam sucinya pernikahan.
Tahun demi tahun berlalu, bersamanya pemandangan ritual kelahiran dan kematian. Kegembiraan tergantikan. Kita pun hidup merana mengabarkan keimanan seseorang.
Ketika sudah tua renta, engkau duduk di samping tungku membaca lirih tulisan ini. Engkau kenang keindahan, cahaya, dan pandangan memukau yang pernah engkau lihat.
Betapa banyak laki - laki yang terpesona dengan kecantikan dan keindahan pipimu. Tetapi, hanya satu laki - laki yang mencintai jiwamu. Ia terpesona pada air mukamu yang mulai menampakkan tanda - tanda menahun.
Sambil duduk di depan api tungku yang menyala - nyala akan engkau katakan, "Ah, masa-masa meronanya cinta yang indah telah berlalu. Cinta telah terbang di balik gunung, kemudian menghilang nan jauh di sana, di antara sekumpulan bintang yang merajut harmoni".
Itulah peristiwa yang tidak mungkin dihapus perjalanan waktu. Bagaimana mungkin kulupakan saat-saat tegap dan berwibawa, masa-masa jatuh cinta, ketulusan, dan peribadahan. Kini aku merangkak seorang diri di hadapan tiang gantungan yang suci, menyimak bisikan ruh yang abadi.


NB : untuk Dhitya aku persembahkan, inspirasi dari puisi William Blake

Tidak ada komentar: